Pakaian Adat Pengantin Pria Suku Sasak, Lombok, NTB dan Makna Simbolisnya.
Sebagaimana pengantin perempuan Suku Sasak Lombok, Pengantin Pria Suku Sasak juga memakai pakaian pengantin dan aksesoris yang memiliki makna simbolis dan nilai-nilai luhur. Pakaian pengantin pria lebih simple seperti pakain adat lombok pada umumnya seperti memakai kain pegon, sapu’ dan Kris. Berikut ini makna simbolis dan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya:
1. Sapu’
Sapu’ nganjeng (ikat kepala destar berdiri) merupakan mahkota pengantin pria di suku Sasak, disebut demikian karena ujung sapu’ tersebut berdiri tegak meruncing di bagian depan mempunyai makna bahwa kita sebagai manusia harus selalu mengingat kepada sang pencipta, pemakaiannya digunakan di kepala, biasa terbuat dari bahan batik, palung, songket dan hiasan benang emas, penggunaan sapu’ pada pengantin pria ini melambangkan kejantanan, keberanian serta menjaga pikiran kotor dan sebagai lambang penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Untuk pengantin laki-laki, satu-satu hiasan di bagian kepala adalah sumping berupa bunga cempaka kombol (kuncup), diselipkan pada telinga kanan, dipakainya cempaka yang masih kuncup melambangkan bahwa sang pengantin sebelum memasuki jenjang berumah tangga masih belum berkembang dan akan segera berkembang setelah berumah tangga.
Sapu’ juga terbagi menjadi dua jenis yakni sapu’ nganjeng dan sapu’ lepek, cara pemakaian dan fungsinya juga berbeda. Sapu’ nganjeng digunakan oleh para bangsawan. Adapun cara menggunakan sapu? nganjeng yaitu, kain sapu? yang berbentuk persegi dilipat menjadi dua bagian sehingga membentuk dua buah segitiga sama sisi yang ditumpuk menjadi satu, kemudian ambil sisi bawah bagian segitiga dan pegang kedua ujung bagian bawah segitiga dan dilipat ke ujung atas puncak segitiga dengan ukuran kurang lebih lebar lipatan 10 smpai 15 cm dengan banyak lipatan 4 sampai 5 kali lipatan sehingga membentuk segitiga sama sisi yang lebih kecil, dengan ukuran segitiga kurang lebih 15 sampai 20 cm setelah itu, tempatkan dikening dengan sisi bawah diatas alis kemudian kedua ujung segitiga yang paling panjang ditarik kebelakang kepala dengan posisi sebelah kanan dibawah atau ditumpuk oleh sisi ujung sebelah kiri dan sisi kanan diangkat atau ditarik keatas sehingga sisi ujung kiri berada dibawah bagian ujung sebelah kanan kemudian, kedua sisa sisi ujung kanan dan kiri ditarik kedepan, setelah bertemu ujung kanan dan ujung kiri dikening, sisi ujung kanan dilipat atau ditekuk menjadi dua dan diselipkan kepada kedua ujung kiri sehingga membentuk simpul yang bermakna memusatkan pikiran kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan sisa ujung kanan dilipat menjadi dua dan diselipkan pada sebelah kanan simpul yang berada didepan, sehingga kedua simpul sisi kanan dan kiri membentuk huruf arab yaitu lam alif. Proses pembuatan sapu’ tersebut memiliki makna filosofis sebagai berikut :
- Sapu’ dibuat dari Kain tenun persegi mengandung makna bahwa manusia hendaknya selalu ingat sebagai makhluk ciptaan allah, yang terdiri dari 4 unsur yaitu air, angin, api, tanah.
- Kemudian dilipat membentuk segitiga mempunyai makna bahwa manusia untuk ma’rifat kepada Allah, harus menjalani syari’at, tarikat dan hakikat.
- Kain berbentuk segitiga dilipat menjadi sepertiga mempunyai makna bahwa manusia harus berusaha menghilangkan sifat-sifat jelek mengisi dengan sifat-sifat yang baik dan akhirnya menyerahkan semua kehadirat Allah.
- Kain segitiga yang dibalik, dilipat menjadi empat bagian mempunyai makna, bahwa manusia hendaknya selalu mengikuti sifat rasul yang 4 yaitu sifat sidiq (jujur), amanah (dapat dipercaya), tabligh (menyampaikan), fathonah (cerdas) dalam menjalani kehidupan dunia kata dibalik mengandung makna dari kata qolbu artinya bolak-balik sehingga jika manusia melakukan kesalahan harus segera bertaubat.
- Nampak bentuk “lam alif” bahwa sapu’ diletakkan di kepala karena bagian kepala adalah bagian yang tertinggi dari anggota tubuh manusia yang cenderung sombong dan ria’, maka untuk mengurangi atau menghilangkan sifat tersebut, manusia harus sadar bahwa simpul dari pada sapu’ yang berbentuk huruf lam alif menunjukkan tidak ada yang paling akbar atau agung kecuali Allah SWT.
Menggunakan sapu’ nganjeng pada dasarnya sama dengan pembuatan sapu’ lepek mulai awal melipat sampai kedua ujung ditarik ke depan kepala sehingga bertemu tepat di ujung kening, yang membedakan adalah cara membuat simpul di kening pada sapu’ lepek sisi kiri tidak dilipat dua terlebih dahulu namun langsung dibuat simpul mati atau simpul biasa, kemudian ambil ujung kanan lalu dilipat menjadi dua dan disimpulkan seperti membuat simpul pada lam alif sehingga membentuk dua kali simpul dan ujung sisi kiri dilipat dua dan diselipkan tepat dibelakang simpul, yang membedakan lagi antara sapu’ nganjeng dan sapu’ lepek adalah bagian ujung atas segi tiga yang menunjang ditarik kedepan sedangkan pada sapu? nganjeng tidak.
2. Keris
Keris bagi orang sasak tidak hanya dikenal sebagai hiasan semata, tapi dikenal pula sebagai senjata, bahkan ada pula senjata yang mengandung kekuatan yang sifatnya adikodrati. Karena mempunyai fungsi ganda khususnya sebagai senjata yang pertama-tama sebagai alat untuk membela diri dalam kehidupan sehari-hari, dan yang kedua sebagai sumber kekuatan rohaniah.
Keris tersebut dengan fungsinya yang pertama, haruslah mempunyai bentuk yang sederhana, kuat dan tajam sehingga dapat digunakan oleh pemiliknya dengan lincah. Sedangkan fungsi yang kedua diharapkan memiliki kandungan yang bersifat magis. Seperti sesuatu yang menguatkan batin. Orang sasak percaya bahwa di dalam keris mengandung spirit, dalam bahasa sasak disebut “ bebadong “ yang dapat mempengaruhi pemiliknya ataupun dapat menghindarkan pemiliknya dari bahaya.
Kepercayaan diatas terdapat pula kepercayaan adanya ketidak cocokan keris dengan pemiliknya, melainkan kecocokan bagi orang lain. Untuk melihat kecocokan tersebut dapat dilihat dari karakter pemiliknya dan watak dari keris itu sendiri.
Ada beberapa macam watak yang terkandung di dalam keris antara lain, ada yang memiliki watak “makmur“ sehingga baik dipakai untuk berdagang bertani ataupun dipakai untuk mencari rizki. Ada yang memiliki watak “ pelindung “, karenanya keris ini dapat menghindarkan pemiliknya dari orang yang berbuat jahat dan bahkan dari gangguan makhluk halus. Ada pula yang memberi watak “pemberi“ sehingga dapat memberikan kekuatan batin bagi pemiliknya untuk mempertahankan diri dari mara bahaya Pada pengantin laki-laki, keris tersebut dipasang pada pinggang sebelah kiri dikarenakan gagang pada keris tersebut dipegang oleh tangan kanan pada saat pengantin menyambut tamu. Pada pegangannya berbentuk lengkungan daun pakis muda disebut togog apabila gagangnya berbentuk patung.
Keberadaan keris pada pengantin laki-laki, merupakan simbol kejantanan dan keberanian. Untuk golongan bangsawan pada gagang keris terbuat dari emas. Yang menonjol dalam keris ini adalah aspek estetikanya. Ini terlihat pada hulu dan wrangka (sarung) nya, yang dilengkapi kayu dan gading. Hulu keris Lombok di antaranya dinamakan bondolan, cekahan, cenengan paling banyak disimpan masyarakat, di samping hulu grantim, togogan dan kusia (sebentuk kepala kuda).
Hulu keris Lombok biasanya bermotif binatang, seperti Togogan-figur Dwarapala yang dalam mitologi Hindu dilukiskan sebagai raksasa penjaga pintu, di samping hulu kusia yang berupa kepala kuda. Bahan baku warangka keris ini terdiri dari galih (isi dalam) kayu pilihan seperti galih kayu sawo, kemuning, berora, birak, eben (kayu besi) dan jati. Kayu yang permukaannya berpola, ini kecuali kuat, padat, halus, juga tidak menyusut jika terjadi perubahan suhu udara. Hulu dan sarung biasanya dihiasi batu mulia biasanya bertahtakan batu merah delima.
3. Klambi Pegon
Baju pengantin pria bangsawan biasanya harus berlapis dua. Bagian dalam harus menggunakan baju putih lengan panjang. Sedangkan baju luar dengan menggunakan klambi pegon (baju pegon) adalah jas tutup yang kerahnya berdiri dengan diberi kancing mulai dari leher terus sampai ke bawah. Sehingga kalau dipakai akan menutup mulai dari leher. Pada bagian belakang baju pegon ini dipotong melengkung dari atas pinggang sampai ujung bagian depan baju. Sehingga tampak depannya meruncing. Bentuk atau potongan seperti ini terkenal dengan ungkapan Tunjang julu kekes mudi artinya : menjulur di depan, mengkerut di belakang.
Sedangkan dilihat dari warnanya, kelambi pegon untuk pengantin pria mempunyai makna tertentu berdasarkan stratifikasi pemakainya adalah warna bireng (hitam), ijo toaq (hijau lumut) dan ampuk (biru tua) untuk para bangsawan, selain warna yang di atas digunakan oleh masyarakat biasa. Masyarakat Sasak umumnya lebih sering menggunakan warna-warna yang terang mencerminkan sikap masyarakat Sasak yang terbuka dan ramah-tamah.
Pada bagian ujung lengan (pergelangan) dan dada kiri-kanan terdapat hiasan renda benang emas dengan motif tumbuhan sebagai lambang dari kesuburan. Dahulu hiasan baju pengantin ini lebih meriah, pada pundak, leher, ujung lengan dan pada pinggir bawah baju diberi hiasan mutu, hiasan mutu ini di bentuk dari kawat atau benang emas dan perak berbentuk spiral yang disebut manik-manik khusus pada bagian pundak ada hiasan semacam lap pundak dari kain tebal.
Selanjutnya Pakaian Adat Pengantin Prempuan Suku Sasak, Lombok, NTB dapat dibaca pada link Berikut
Pakaian Adat Pengantin Wanita Suku Sasak, Lombok NTB dan Makna Simbolisnya
Refrensi :
Apriliasti Siandari,2013, Makna Simbolis Pakaian Adat Pengantin Suku Sasak Lombok Nusa Tenggara Barat, Sekripsi, UNY : Yogyakarta